Belajar bikin Fiksi ANAK : Cerita 6 : PAHLAWAN PINCANG

Hal 1
Namanya Abi, usia delapan tahun. Tapi biarpun usianya sudah seharusnya masuk sekolah Dasar. Abi tidak bersekolah, sebab Abi berasal dari keluarga miskin. Pak Badru, ayahnya seorang pemulung barang bekas. Ibunya seorang tukang cuci.

Hal 2
Selain miskin, Abi pun cacat. Kakinya pincang sebab ukuran kaki kiri dan kanan berbeda. Abi pun dipanggil si pincang oleh teman-teman sebayanya. Tapi, walaupun begitu Abi adalah anak yang sangat periang. Dia tidak pernah marah biarpun diolok-olok, dia selalu tersenyum. Abi sangat rajin, untuk membantu keluarganya yang serba kekurangan, Abi yang merupakan anak semata wayang ikut membantu bapaknya menjadi pemulung.

Hal 3
Sebenarnya Abi ingin bersekolah. Tapi, jika keinginan itu diungkapkan ibunya langsung menangis,
“Kami tak sanggup menyekolahkanmu,nak.” Kata ibu Ningsih dengan sedih
Lantas Abi menjadi ikut sedih
Abi tak kehilangan akal untuk tetap bisa belajar.
Diam-diam Abi sering mengintip dan mendengarkan di pinggir kelas-kelas sekolah yang ada di dekat kota ketika dia sedang bekerja.

Hal 4
Abi juga bersyukur, kerapkali ketika dia sedang memulung ada buku-buku yang masih bagus untuk dia bawa.
Dia belajar sendirian. Dia belajar membaca dari ibunya yang lulusan kelas 5 SD. Syukurlah, ibunya sangat telaten mengajari Abi sehingga Abi kecil sangat pandai membaca dan berhitung
”Hanya ini yang bisa ibu ajarkan padamu nak.” kata ibunya dengan lembut
Abi mengangguk
Setelah pandai membaca, Abi jadi sangat suka mengoleksi buku apapun, itulah sebabnya Abi menjadi anak yang cerdas
”Buku telah memberitahukan Abi banyak hal, ibu.” katanya dengan bangga
Ibu mengangguk-angguk senang
”Membacalah terus,nak. Kelak itu akan sangat membantumu mengetahui dunia ini.”

Hal 5
Itulah Abi, seorang anak miskin tapi tak pernah kehilangan semangat hidup.
“Suatu hari aku akan bersekolah seperti mereka. “ tekadnya setiap melihat rombongan anak berseragam merah putih

Hal 6
”Aku akan bersekolah seperti mereka.” kata Abi pada teman-teman sesama pemulung
Mereka semua tertawa, ”Jangan mimpi pincang. Nanti kamu malah mati membawa mimpi.” ledek Agus, anak lelaki bertubuh kurus dengan gigi kuning menyeringai
”Ya, sekolah itu hanya milik orang yang punya duit.” timpal Samson, yang punya nama sebenarnya Didit. Namun karena badannya gemuk maka teman-teman memanggilnya Samson
”Bukankah dalam buku, Tuhan menjanjikan bahwa nasib seseorang itu bisa berubah asal dia mengusahakannya?”
”Hahahaha” mereka tertawa keras
”Itu kan buku yang bilang, nyatanya, kita tetap jadi sekumpulan pemulung tak beruntung, belum lagi kakimu pincang. Hah, sampai tujuh turunanpun nasib kita akan tetap sama.” kata Agus sedikit emosi
”Aku yakin aku bisa sekolah kelak.” Abi tetap yakin dengan keinginannya
”Telan saja mimpi itu.” teriak Samson
Abi tetap tersenyum menghadapi mereka


Hal 7
Hari ini, entah untuk keberapa kalinya Abi kembali mengintip kelas di SD Mutiara
Abi membawa buku dan pulpen yang biasanya dijadikan senjata jika sedang diajari ibu.Buku yang tinggal selembar lagi itu tetap Abi gunakan untuk belajar.
Dengan mimik serius Abi mengikuti apa yang diajarkan oleh guru di dalam kelas

Hal 8
Ibu membawakan tiga potong singkong rebus
”Hanya ini yang kita makan hari ini.” kata Ibu sambil meletakkan piring di depan Abi yang terduduk di tikar rombeng
Abi menyambut singkong itu dengan riang, ”Tak apa ibu, ini sudah cukup untukku.” tangan Abi memasukkan singkong ke mulut
”Hari ini barang pulungan bapak sangat sedikit sehingga kita tidak sanggup membeli beras.”
Abi jadi merasa bersalah, ”Bu, uang hasil kerja Abi hari ini malah Abi belikan beberapa buah buku, sebab buku Abi sudah habis.”
Ibu mengangguk, ”Tak apa-apa. Sabar ya, Bi. Maafkan Ibu tidak bisa memberikan yang terbaik untuk Abi...”
”Ah ibu, kenapa mesti sedih?Abi tetap bersyukur masih memiliki Ibu dan Bapak.”
”Betapa Ibu bersyukur pula memiliki anak sesholeh kamu.”
Abi melahap singkong hingga tuntas
”Bi..”
”Ya bu..”
”Jangan sampai ketahuan ya mengintipnya....” pesan ibu
”Mudah-mudahan bu”

Hal 9
Ibu tidak tahu, beberapa hari yang lalu Abi hampir ketahuan sedang mengintip karena saat itu guru di kelas menengok ke jendela ketika Abi tanpa sengaja menginjak ranting sehingga menimbulkan suara yang berisik padahal saat itu kelas sedang senyap karena murid-murid sedang ujian.
Untung Tuhan masih memberikan kebaikan padanya.
Abi menghela nafas lega

Hal 10
Ibu juga tidak tahu kalau Abi punya teman favorit di SD Mutiara, seorang murid di kelas dua yang kelihatan sangat pintar. Setiap guru semua mata pelajaran memberikan pertanyaan dia selalu mengacungkan tangan.
Abi menjadi sangat termotivasi oleh anak lelaki berkacamata itu. Badannya tidak terlalu tinggi dibandingkan teman sebayanya, bahkan mungkin dengan Abi pun anak itu lebih pendek. Anak itu juga kelihatan lemah, seperti sering sakit, badannya kurus, tapi sorot matanya begitu berbinar dan memiliki semangat yang begitu tinggi.

Hal 11
Namanya anak lelaki itu, Gusta.
Gusta adalah anak bungsu dari keluarga Pak Tirta yang cukup berada. Mungkin karena mereka kayalah membuat keluarga Tirta terkenal sombong. Hanya Gusta saja yang tidak pernah memilih temah bergaul. Gusta sangat rendah hati dan ramah. Semua orang menyukainya

Hal 12
Abi sering membayangkan belajar bersama Gusta. Abi sangat menyukai Gusta. Senyum Gusta yang ramah selalu membingkai wajahnya yang pucat. Pernah suatu kali, Abi melempari Gusta dengan senyum ketika Abi secara tak sengaja bertemu Gusta di jalan saat dia terlambat masuk kelas. Gusta berlari tergesa-gesa sesaat setelah turun dari mobil yang mengantarnya. Ajaibnya, Gusta membalas senyum itu.

Hal 13
”Semoga dia kelak bisa menjadi temanku. Aku ingin belajar bersama dengannya.” kata Abi dalam hati
”Dia kaya tapi tidak sombong.” desisnya lagi

Hal 14
Pada suatu hari Keluarga pak Tirta hendak berangkat ke luar kota. Semua sibuk mempersiapkan diri
”Bik, mana koper saya?” teriak Gina, kakak Gusta yang paling tua.
Seorang wanita tua tergopoh menghampiri, ”Huuuh, lama banget sih kalo di suruh.” omel Gina sinis
”Tadi bibi sedang mengepaki bajuku, kak.” kata Gusta membela
”Udah, anak kecil jangan ikut ngebelain tua bangka ini.” ujar Gina membentak Gusta
Lalu mereka mulai memasukkan barang-barang ke mobil
Seorang Satpam dengan badan tegap membuka pagar
”Sudah siap semua?” kata Pak Tirta
”Yaaa....”

Hal 15
Abi sedang memilih sampah yang kira-kira bisa diambil
”Ekh, pantesan sampah-sampah suka berserakan. Oh, pasti ini penyebabnya. Ada tikus besar rupanya.” Bu Tirta yang tak sengaja keluar pagar duluan marah pada Abi.
Abi menghentikan kegiatan mengaduk sampah
”Awas jangan ke sini lagi! Kalau tidak, saya adukan ke satpam komplek.” ancam bu Tirta
Gusta yang belum naik ke mobil, menghampiri ibunya
”Ekh...” sesaat setelah melihat Abi, dia menunjuk Abi
”Heeemmm..kayaknya aku pernah lihat kamu.” katanya ramah
Abi tersenyum, ”Oh, kamu kan anak yang sekolah di SD Mutiara?”
”Eeeh, Gusta cepet masuk mobil. Jangan berteman dengan anak dekil ini.”
”Bentar ma...halo...” terlambat, Bu Tirta menarik tangan Gusta masuk mobil dan mobil itu langsung melaju
Sayup Abi masih mengingat ancaman Bu Tirta
”Awas jangan ke sini lagi!”
Abi menghela nafas, betapa berbedanya sikap Gusta dengan ibunya.

Hal 16
Abi menceritakan hal itu pada bapak dan ibu saat mereka sedang makan malam
”Ya, begitulah orang kaya. Kadang mereka tak pernah menganggap si miskin juga manusia.” kata Bapak
”Itu karena mereka tidak tahu kalau itu tidak baik, pak.” sela Abi
”Mungkin saja, atau karena mereka memang tak mau bergaul dengan si miskin.”
”Abi, hati-hati ya kalau sedang memulung. Jangan sampai kamu membuat kotak sampah rumah-rumah besar itu berantakan.” pesan ibu
”Ah, tidak kok Bu. Abi selalu membereskannya kembali.” jawab Abi
”Yang penting bapak pesan. Apapun yang kamu lakukan tidak membuat orang lain marah. Kita harus mencari uang dengan jalan halal dan diridhoi. Kalau orang lain sudah marah dan tidak ridho maka uang yang kita dapat jadi tidak halal.”
”Iya bapak.”

Hal 17
Kejadian itu tetap tidak mematahkan semangat Abi
Abi tetap ceria, Abi tetap rajin belajar, Abi tetap menjadi anak yang rajin.


Hal 18
Abi mengintip, dan uuups..Gusta menengok ke jendela tetap saat Abi sedang memandangnya
”Mati deh...” jantung Abi berdebar takut Gusta melaporkannya pada guru
”Dia, laki-laki kecil pemulung dan pincang itu...” kata Gusta dalam hati, dia pura-pura tidak tahu Abi ada hingga pelajaran selesai
Abi menghela nafas lega

Hal 19
Gusta gelisah, sampai sore begini belum ada yang menjemput ke sekolah
”Apa aku akan naik angkutan umum saja?” tanya Gusta dalam hati dengan bingung
Abi melihatnya Gusta sendirian. Tapi dia takut untuk mendekati. Dia khawatir ketahuan jika ada yang melihat. Dan dia bisa kena marah keluarga Gusta. Tapi....Uuups, Gusta kelihatan gelisah. Tengok kiri kanan dan....ciiiit.....


Hal 20
Gusta menyebrang dengan tergesa-gesa tidak mengetahui ada mobil datang dengan kecepatan tinggi..
Abi berlari ke arah tabrakan itu
”Gusta..gusta bangun...” kendaraan yang menabrak Gusta lari....Gusta bersimpah darah.

Hal 21
“Aduuh, bagaimana ini?” Abi melenguh…orang-orang mulai berdatangan.
“Kenapa de?”tanya seorang Bapak
“Tabrak lari pak..” jawab Adi gugup
“Ayo bawa ke rumah sakit..Ade ikut sebagai saksinya..” ajak Bapak itu
Lalu mereka ke rumah sakit…
Gusta masih tak sadarkan diri, darah bercucuran

Hal 22
“Ade mengenalnya?” tanya dokter
Adi mengangguk, “Dimana keluarganya?…anak itu terlalu banyak kehilangan darah. Kita butuh donor darah. “
“saya tidak tahu bagaimana cara menghubungi mereka, tapi saya tahu tempatnya.”
“Tapi kita butuh cepat..saya harus menyelamatkan dia secepatnya.”
“Bagaimana kalau saya yang menjadi donor darah?” usul Abi
“Golongan darahmu?”
Abi menggeleng pelan
Ya, tak ada waktu lagi, Abi langsung diajak dokter untuk periksa darah

Hal 23
“Syukurlah…semua sudah tertangani dengan baik. Terima kasih nak.” Kata dokter
Ternyata, darah Abi cocok dengan Gusta
“Dokter, saya pulang. Anak itu bernama Gusta. Kalau tidak salah keluarganya tinggal di komplek Permata Biru blok.G.”
Abi pulang dengan hati bahagia

Hal 24
Seperti biasa Abi pergi memulung
”Abi, hati-hati di jalan.” kata ibu setelah mengecup keningnya
Abi memeluk Ibu, ”Ibu, betapa Abi sayang sama Ibu.”
”Ah Abi, seperti mau pergi kemana saja kamu ini.”
”Terima kasih ya bu, sudah mengajari Abi membaca. ”
Ibu tersenyum

Hal 25
Gusta sudah sadar
Pak Tirta dan Bu Tirta sudah terlihat lebih lega
”Akhirnya kamu sadar..”
”Maafkan Ibu ya nak. Ibu telah telat menjemput. Ibu sibuk sekali hari itu.”
”Aku dimana bu?”
”Kamu di rumah sakit. Kamu tertabrak dan tak sadarkan diri beberapa hari.”
Mata Gusta melihat sekeliling ruangan, ”Lalu, siapa yang membawa aku ke sini bu?”

Hal 26
Dokter Harun datang menghampiri
”Ada seorang anak laki-laki menemanimu ke sini.”
”Anak laki-laki?”
”Itu yang mau kami tanyakan nak...”kata pak Tirta
”Anak itu telah menyumbangkan darahnya untukmu. Kami ingin berterima kasih.” lanjut bu Tirta
”Aku tidak tahu, bu.” kata Gusta lirih
”Bagaimana ciri-cirinya dokter?” kata Pak Tirta
”Heeem, sepertinya dia seorang pemulung, soalnya penampilannya sangat dekil. Dan satu lagi, kakinya pincang.”
Semua terdiam....
”Anak itu, ibu...”
Mata Gusta membelalak

Hal 27
“Siapa nak?” tanya Bu Tirta penasaran
“Anak pemulung yang tempo hari ibu marahin di depan rumah.”
Bu Tirta terdiam, lalu “Anak yang mengacak-ngacak tempat sampah depan rumah.”
“Sepertinya dia bu, sebab ketika aku sedang belajar aku melihatnya mengintip ke kelasku. Dia ingin ikut belajar…”
Bu Tirta menangis haru, “Tapi dimana kita cari dia?”


Hal 28
Beberapa minggu kemudian…
Gusta sudah masuk sekolah dan dia berharap bisa bertemu si pengintip kelas. Gusta meletakkan sepucuk surat tepat di bawah jendela
Gusta menulis,
“UNTUK ANAK YANG SUKA MENGINTIP”

Abi masih sering mengintip di kelas dan dia begitu senang ketika melihat Gusta sudah masuk sekolah….

Hal 29
Mata Abi melihat surat itu,
“UNTUK ANAK YANG SUKA MENGINTIP”
Apakah ini untukku? Kata Abi bingung, dia lalu menatap Gusta. Gusta mengangguk-angguk seolah mengatakan bahwa surat itu memang untuk Abi dari dia
Abi membuka surat itu perlahan..

Hai….
Terima kasih sudah menolongku. Namaku Gusta. Aku berterima kasih karena kamu memberikan darahmu untukku. Ini artinya sekarang aku adalah bagianmu dan kamu adalah bagianku. Kita sekarang bersaudara. Bagaimana kalau pulang sekolah kita bertemu? Aku tunggu ya….

Saudaramu,
Gusta

Pesan : ssss…jangan sering ngintip nanti ketahuan loh..hehehe

Abi tersenyum

Hal 30
Pak Tirta dan keluarga mendatangi gubug keluarga Abi
“Kami sangat berterima kasih atas kebaikan yang anak bapak berikan pada Gusta.” Kata Pak Tirta menahan tangis
“Tak usah berterima kasih pada kami pak, buat kami ini hanya sekedar kewajiban sebagai sesama makhluk Tuhan. Bukankah kita semua harus saling menolong.” Jawab Pak Badru bijaksana
“Terima kasih Tuhan karena mempertemukan kami pada keluarga bapak yang menyadarkan kami akan banyak hal. Untuk itu, kami ingin mengangkat Abi menjadi bagian keluarga kami. “ Pak Tirta langsung mengungkapkan keinginannya, diikuti anggukan seluruh keluarganya.
“Kami akan menyekolahkan Abi dan membiayainya hingga kuliah. Jika mungkin, kami ingin mengajak Abi tinggal di rumah kami sebagai teman bermain Gusta.” Lanjut pak Tirta
Abi memandang ibu dan bapak bergantian
Gusta melempar senyum padanya

Hal 31
“Terima kasih atas kebaikan keluarga bapak. Tapi….”
“Hanya Abi milik kami satu-satunya…” lanjut ibu sedih
“Walaupun kami tahu kami takkan sanggup menyekolahkannya.”
Semua terdiam
“Abi ingin sekolah…”kata Abi lirih
Semua kembali terdiam
Bu Tirta angkat bicara, “kalau begitu keluarga bapak bisa tinggal di rumah kami. Bapak bisa menjadi tukang kebun, ibu bisa membantu saya masak, dan Abi tetap sekolah seperti anak-anak lain. Bagaimana?”
“Saya serius bu..” bu Tirta menyakinkan
“Sudah kewajiban manusia untuk saling menolong.” Lanjutnya bijaksana
Semua bernafas lega


Hal 32
Abi hari ini mulai sekolah dan dengan bangganya dia mengenakan seragam merah putih
“Aku sekolah bu..” katanya berkaca-kaca
Ibu dan Bapak menangis bahagia
“Terima kasih Tuhan..”

No comments:

Post a Comment